R.A.Kartini adalah sosok ikonik dari kalangan priyayi yang melambangkan perjuangan
wanita Indonesia. Kita semua tahu nyata sejarahnya. Bagaimana Ibu Kartini
memperjuangkan kesetaraan perlakuan dan derajat kaum wanita ditengah zaman penjajahan.
Bagaimana Ibu Kartini mendirikan sekolah untuk anak-anak pribumi sehingga
mereka bisa mengenyam pendidikan. Semua ada di buku. Hanya kadang kita enggak tahu seperti apa sih pribadi seorang Kartini. Dilihat dari foto, sepertinya
beliau orang yang pendiam dan thoughtful.
Alhamdulillah, Blogger Eksis dapat tiket gratis lagi setelah
ikut kuis di akun twitter
@BrandOutlet_ID yang menjadi salah satu brand clothing online shop di bawah naungan MNC Group. Kali ini
ogut pun nonton film Surat Cinta Untuk Kartini pada Senin, 11 April 2016
tepatnya di Blok M Square saat ada meet n
greet dengan sutradara (Azhar Kinoi Lubis), Sarwadi (Chicco Jerikho), dan
Ningrum (Christabelle
Grace Marbun). Ogut gak sabar mau lihat Kartininya divisualisasikan
dalam versi seperti apa. So, I was excited going into this movie.
Opening scene Surat Cinta Untuk
Kartini dimulai dari sebuah taman kanak-kanak di dunia modern. Seorang guru
perempuan dalam kostum kebaya mengajak murid-murid TK untuk menyimak ceritanya tentang Kartini. Anak didiknya ini enggan untuk menurut. Mereka protes dengan
mengemukakan alasan logis, “Ngapain sih cerita tentang Ibu
Kartini? Di buku-buku sejarah juga banyak!”
Gagal
menarik minat para siswa, upaya sang guru perempuan diselamatkan oleh sosok
(yang diasumsikan sebagai salah satu pengajar di taman kanak-kanak itu), muncul Chicco Jerikho dalam balutan busana modern. Lalu, Ia memutuskan
untuk bercerita mengenai Kartini melalui sudut pandang tukang pos. Anak-anak
tersebut pun langsung mendengarkan dengan seksama.
Dimulailah cerita pak guru, yang dalam film ini berfungsi sebagai flashback framing device. It was playful. Jarang sih film Indonesia mengambil langkah baru seperti ini hingga menghadirkan konsep emosional nan menyentuh. Seolah memberi warna baru dalam penceritaan sejarah. At times film ini cukup menarik untuk disimak sebagai a vibrant of characters.
Ternyata,
Surat Cinta Untuk Kartini dibuat dari sudut pandang tokoh bebas! Tokoh utamanya
yaitu seorang tukang pos di Jepara, bernama Sarwadi, berstatus sebagai duda
beranak satu yang menjadi begitu tertarik dengan sosok Kartini setelah suatu
hari ia mengantar surat-surat ke kediaman putri ningrat Jepara itu.
Film
ini membawa rasa penasaran penonton sebagai seorang Sarwadi yang mendadak kagum
terhadap sosok Kartini sejak pandangan pertama. Hingga akhirnya, Sarwadi
membawa Ningrum, putrinya yang berumur 7 tahun untuk belajar kepada Kartini.
Sarwadi berhasil menjadi ‘twist’ sejarah tentang Kartini.
Beberapa kali Sarwadi ingin memberi surat cinta kepada Kartini tapi gagal.
Hatinya pun hancur ketika mendengar Kartini dilamar oleh Bupati Rembang yang sudah
memiliki 3 istri. Dia sempat jatuh sakit tapi akhirnya bangkit lagi. Dia pun
melakukan berbagai cara untuk meyakinkan Kartini agar tidak menikah dan tidak
melupakan mimpinya untuk mendidik kaum perempuan.
Premis
cerita menarik dengan konsep struktur yang begitu tinggi. Kisah cinta rekaan
antara Sarwadi dan Kartini mencoba menyentuh kita lewat perbedaan keadaan hidup
yang mereka hadapi saat itu. Bagai punuk merindukan bulan. Formula Sarwadi
terbukti ampuh sebagai emotional core dari cerita.
Inti
yang bisa penonton dapatkan yaitu ada keinginan Kartini untuk membuat sekolah
dan keinginan Sarwadi mencari ibu bagi Ningrum. Kartini sempat curhat
dia ingin mengajar tapi tidak punya tempat, lalu semua masalah hilang berkat
pilihan-pilihan Sarwadi yang jadi pusat cerita. Tantangan demi tantangan pun mereka
hadapi, they were personal. Eksekusi terhadap cerita dibuat
sedemikian rupa hingga penonton menjadi peduli.
Penceritaan
siapa Kartini dalam film ini lebih terlihat tentang bagaimana ide dari seorang
Kartini mempengaruhi banyak orang. Bagaimana orang jatuh cinta kepadanya. Bagaimana
orang-orang disekitar menjadikan beliau inspirasi.
Ada satu
adegan yang cukup menarik perhatian, saat Kartini menyuruh ibunya yang bernama
Ngasirah (Ayu Dyah Pasha) untuk duduk sejajar dengan dirinya dan juga ibu tiri
kartini yang menjadi istri utama bupati Jepara. Kartini pun menginginkan
panggilan Ibu untuk wanita yang melahirkannya, bukan sebutan lain meski Ngasirah
bukanlah istri utama bupati. Kartini tetap meyakini bahwa Ngasirah merupakan
ibu kandungnya dan Ia mengajukan permintaan kepada romonya agar Ngasirah berhak
mendapat kamar yang lebih layak.
UNPUBLISHED |
Selain
itu, adegan ikonik yang menurut penulis berkesan saat Kartini berbicara dengan
Sarwadi di sebuah tepi sungai di mana ia dan kedua adiknya melakukan pengajaran
kepada anak-anak pribumi. Kalimat ikonik yang masih teringat yaitu kutipan
pembicaraan yang berbunyi “Kita tidak bisa mengubah asal kita, tapi kita bisa
mengubah cara berpikir kita” ujar Kartini kepada Sarwadi.
Pada
akhirnya, R.A Kartini pun meninggal dan si tukang pos tetap melanjutkan
kehidupan bersama putrinya yang sudah berdandan ala kartini. Tiba-tiba tampil
sosok cameo Acha Septriasa dalam tata rias modern mengenakan kebaya tampak mengajar
di tepi pantai seolah meneruskan tradisi Kartini. Ini menjadi simbol kebanggaan
sosok kartini-kartini selanjutnya.
Di akhir film, penonton juga sempat digoda oleh sebuah petunjuk kecil dari buku
sketsa yang dibawa oleh karakter guru yang diperankan oleh Chicco Jerikho. Mungkin
saja adegan ini dimaksudkan ingin menimbulkan teori atau perdebatan, apakah
Sarwadi hanyalah rekaan sang guru ataukah memang “kisah nyata” yang tidak
termaktub dalam sejarah. Hal ini coba disampaikan secara blak-blakan di
akhir film sehingga memberi isyarat untuk penonton bertanya-tanya?!?!??!. 😌😤😱😱🙎
PS: Review ini telah didraft dari tahun kemarin tepat bulan
April 2016 karena kesibukan penulis baru bisa diselesaikan tahun 2017 ini. Untuk kritik film Surat Cinta untuk Kartini bisa dilihat tulisan selanjutnya. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar