Tema dalam sebuah film merupakan gagasan utama yang
direpresentasikan ke dalam sebuah cerita mengenai makna hidup atau kondisi
manusia. Gagasan tersebut dibangun seiring dengan perkembangan kejiwaan si
tokoh yang nilai kehidupannya menjadi harus diuji dan dipertahankan. Penentuan
tema dapat dianggap sebagai permulaan sekaligus akhir dari sebuah pendekatan
apresiasi dalam menonton film. Setelah menonton film tersebut kita harus coba
membuat sebuah identifikasi sementara dari tema film itu. Dengan demikian kita
melengkapi diri kita dengan suatu rasa yang jelas dari arah yang akan ditempuh
oleh analisa kita selanjutnya tentang sebuah tema. Maka, tema akan dianggap
sebagai jumlah menyeluruh dari semua unsur yang berfungsi sebagai faktor dasar
pemersatu dalam sebuah film.
Banyak sineas muda mengambil sebuah tema dari realita di masyarakat
yang mengandung pro kontra. Entah hal itu bagian dari strategi pasar agar
film laku dijual atau pekerja seni memang berusaha menjadi penengah akan
kontroversi pada setiap pola hidup masyarakat majemuk. Kenyataan ini menarik
untuk ditelisik.
Suatu hal yang dianggap tabu menjadi wacana di layar lebar.
Perbedaan beragam di Indonesia menjadi tantangan tersendiri para sineas muda
untuk memproduksi sebuah karya dalam bentuk media audio visual. Dari sekian
banyak hal tersebut, cinta beda agama selalu menjadi perbincangan hangat dalam
setiap film yang beredar. Kondisi demikian terlihat jelas pada layar-layar
bioskop setiap tahun yang menyajikan tema film tentang cinta beda agama.
Sebenarnya
cinta beda agama terbilang suatu keniscayaan. Kita hidup berdampingan dengan
individu agama lain dalam pergaulan sehari-hari. Tidak mungkin rasanya jika
tidak pernah terjadi kisah cinta dengan latar agama yang beda. Kita mungkin
pernah mengalami atau mengenal orang-orang disekitar kita yang merasakan hal
demikian.
Cinta beda
agama bisa terjadi dibelahan mana saja di dunia. Namun, dalam pola pergaulan
hidup negara-negara Barat hal semacam ini tidak menjadi masalah. Jauh berbeda
dengan negara Indonesia yang nilai religi dan nilai kekeluargaan masih erat
dianut masyarakatnya sehingga persoalan cinta beda agama menjadi pelik.
Di negara-negara
barat yang masyarakat tergolong individualis, orangtua membiarkan anaknya memadu
kasih dengan penganut agama lain karena hal itu dianggap sebagai hak asasi.
Tapi, di negara Indonesia yang masyarakatnya menjunjung tinggi budaya timur, percintaan
bahkan pernikahan beda agama tidak hanya menjadi urusan dua pribadi yang jatuh cinta, melainkan
urusan dua keluarga yang siap mengucilkan dan menentang takdir cinta.
Hubungan cinta
beda agama merupakan bahan baku cemerlang untuk sebuah kisah dramatis khas
Indonesia. Dalam hubungan cinta beda agama ada konflik yang menggelitik penuh
dilema. Cinta seolah dipertentangkan dengan keyakinan agama masing-masing. Ada
pula tradisi dan nilai keluarga yang berusaha menentang.
Film Cinta Tapi Beda berusaha mencoba menggarisbawahi akan
hal-hal yang sifatnya bisa dilarang atau justru diperbolehkan dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Para penonton film ini harus bisa berpikir cerdas. Hal
ini dimaksudkan agar para penonton dapat merenungkan nilai-nilai yang bisa
diambil dari rangkaian visual film ini.
Kisah percintaan dua manusia dalam film ini tergolong biasa
saja. Konflik hubungan yang ditolak kedua orang tua pun hanya masalah klasik.
Dari film Indonesia di tahun 70 dan 80-an hingga era millennium saat ini,
masalah tersebut seringkali menjadi tema sebuah film. Garapan salah satu film
berjudul 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta memang menjadi satu film yang paling sukses
dengan tema sejenisnya. Seharusnya film Cinta Tapi Beda mampu mengungguli
kesuksesan film tersebut. Walaupun tema sama, harusnya mampu memberi warna
berbeda.
Dalam Film Cinta Tapi Beda masih terdengar dialog mengenai
persoalan nikah beda agama yang menimbulkan beban psikologis pada pelaku,
keluarga, bahkan anak yang mereka lahirkan kelak. Karakter-karakter yang ada seolah
mewakili rasa keingintahuan penonton yang pasti akan terus bertanya saat
menonton film ini. Jawabannya pun memang terkadang tidak dapat ditampilkan
dengan dialog-dialog yang bijak. Para sineas hanya bisa memberikan jawaban
kepada penonton dengan adegan tawa, diam sejenak, senyuman atau bahkan
tangisan. Kondisi demikian mengurangi unsur penciptaan kreatif sebuah karya dan
penonton awam menanggap sebagai adegan tanpa makna.
Lalu ada juga dialog yang menampilkan sosok karakter dari
sudut pandang agama Islam, seperti pendapat ulama yang mengatakan nikah beda
agama boleh asal prianya Islam. Memang dialog ini terlihat wajar, tetapi akan
mengurangi sisi netralitas sebuah film yang mengangkat tema perbedaan. Walau pada adegan-adegan berikutnya, film ini berusaha dengan bijak untuk tidak
mengikuti pendapat ulama. Penonton diajak untuk menaati agama dengan baik
terlebih dahulu, baru memahami dengan seksama sebelum akhirnya memilih pendapat
yang akan diikuti. Lagi-lagi penonton harus bisa memutar otak.
Penokohan dalam
film Cinta Tapi Beda juga tidak etis. Sosok seorang wanita minang bernama Diana
Fransisca (yang diperankan Agni Pratistha) ditampilkan sebagai penganut
Katolik. Padahal mayoritas masyarakat minang di Indonesia ialah kaum muslim. Hal
ini seakan menyalahi akar budaya Minang yang bersendikan kitab suci Al Qur’an. Lunturlah
nilai logis dalam film ini.
Kondisi
demikian menimbulkan kontroversi tersendiri dikalangan orang Minang. Mereka
melihat film ini sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap budaya Minang. Kita
memang tak pernah tahu, apakah memang karakter tersebut sengaja ditampilkan
sebagai sensasi atau proses riset dalam produksi film ini tidak berjalan dengan
baik. Tergantung bagaimana penonton menafsirkannya.
Tapi yang menarik buat kita selain latar budaya adalah
bagaimana dominasi orang tua terhadap anak yang sudah bisa mengambil keputusan
dan bertanggung jawab akan keputusan itu sendiri. Film Cinta Tapi Beda memberikan
sentuhan terhadap dua budaya mayoritas dan minoritas sekaligus dalam sebuah
tata masyarakat formal yang bernama negara. Di film Cinta Tapi Beda, Bapaknya Cahyo dan
Mamanya Diana terlihat dominan dalam keputusan domestik rumah tangga
masing-masing. Mama Diana semakin kaku memproteksi Diana karena selain menjadi single parent, ia juga merasa telah
kehilangan anak-anaknya yang lain. Sementara Bapaknya Cahyo begitu dominan karena
patron budaya patrilineal dari adat Jawa yang menempatkan dominasi laki-laki
dalam masyarakat.
Kritik lain yang disampaikan adalah keberanian Ibunya Cahyo,
sosok perempuan yang berasal dari Jawa saat beradu argumen akan keputusan
suaminya. Pada umumnya, perempuan Jawa memiliki stigma tersendiri dalam rumah tangga.
Maka, ketika Ibu Munawaroh mendebat keputusan Pak Fadholli, terlihat ada sisi perempuan
yang bangkit dari sub-ordinat laki-laki, di sisi lain ada perempuan yang juga
mendominasi. Logika berpikir penonton pun dipertaruhkan dan dibutuhkan
pemahaman yang mendalam untuk melihat makna tersirat di setiap adegan.
Film ini juga seolah mengajarkan seorang anak untuk melawan
dan durhaka terhadap orang tua sehingga meninggalkan kesan adegan-adegan kaku
dan bernilai negatif. Adegan ini tampak saat Cahyo kabur dari rumah karena
dilarang menjalin hubungan dengan penganut agama yang tidak sesuai
keyakinannya. Seharusnya film ini mampu mengisyaratkan agar orangtua bisa duduk
sejajar mendengarkan apa yang menjadi keinginan anaknya.
Penyelesaian
cerita dalam Film Cinta Tapi Beda juga dibuat dalam zona aman. Penonton
dibiarkan berpikir sendiri untuk menentukan tujuan akhir cerita film ini. Suatu
ending yang dianggap basi, tidak bisa
menghasilkan solusi pasti. Padahal jika para sineas berani berpikir kreatif,
mereka bisa menyajikan resolusi pasangan beda agama yang tetap bertahan dibahtera
pernikahan. Hal tersebut bisa menjadi keunikan tersendiri untuk film ini
dibandingkan film lainnya yang bertema sejenis. Film ini pun bisa unggul dalam
sisi dramaturgi yang lebih menarik.
Kita harus
yakin dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, pasti ada individu-individu
yang berpikiran terbuka dan bebas. Mereka tergolong individu yang yakin bahwa
Tuhan telah memberikan anugerah berupa cinta untuk layak diperjuangkan. Alasan
Tuhan menciptakan cinta dalam jiwa manusia salah satunya ialah agar segala
perbedaan yang ada bisa tetap bersama.
Itulah hal-hal yang selayaknya
dikembangkan dalam proses kerja kreatif para sineas. Sebagai sineas, kita harus
mampu mencari keseimbangan antara keinginan idealisme dan kebutuhan komersial. Seharusnya
Film Cinta Tapi Beda menarik lebih dalam untuk dikaji dan dibahas dalam
kerangka kritik film dan budaya agar tak hanya sebagai tontonan yang penuh
intrik tak menarik, melainkan sebuah hasil karya seni bernilai tinggi.
Film ini memiliki pro dan kontra, sama seperti hasil karya seni lain. Namun sayang, banyak kalangan menutup pintu tafsir terhadap sebuah karya sehingga film ini hanya menjadi sebuah ladang bisnis. Kontroversi pun terungkap sebagai bagian dari formula daya tarik imajinasi yang komersil. Tinggal, bagaimana kita menikmatinya*
Film ini memiliki pro dan kontra, sama seperti hasil karya seni lain. Namun sayang, banyak kalangan menutup pintu tafsir terhadap sebuah karya sehingga film ini hanya menjadi sebuah ladang bisnis. Kontroversi pun terungkap sebagai bagian dari formula daya tarik imajinasi yang komersil. Tinggal, bagaimana kita menikmatinya*
~ Kritik Film ini menjadi nominasi dalam
Lomba Penulisan Kritik Film Terpilih
Piala Maya di Tahun 2013 ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar