Korupsi merupakan masalah
paling krusial bagi bangsa Indonesia. Tukar menukar kekuasaan atau jabatan dengan
uang hampir menjadi kegiatan rutin di semua tingkatan penyelenggara negara,
baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Hal tersebut menjadi gambaran distrust
public (ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara).
Sedemikian sistemiknya korupsi terjadi sehingga sistem birokrasi, politik,
ekonomi, dan hukum hampir tidak bisa berjalan tanpa ada uang pelicin atau koneksi.
Dari penyakit kekuasaan, korupsi menjalar hingga ke jantung kehidupan masyarakat.
Praktek suap-menyuap pun menjadi bagian dari realitas kehidupan sehari-hari di
masyarakat.
Nyaris
tidak ada ruang kehidupan yang bebas dari korupsi. Sebagian orang mengatakan
korupsi sudah menjadi bagian kebudayaan bangsa ini. Kultur korupsi bukan muncul
tiba-tiba. Berawal dari sistem ketatanegaraan yang melahirkan budaya tersebut
tumbuh subur hingga sekarang. Faktor rendahnya pendapatan juga memicu
masyarakat yang bekerja di kalangan birokrasi melakukan tindak korupsi. Sistem
inilah yang akhirnya menjadi embrio budaya korupsi dikalangan birokrasi hingga
sekarang.
Selama
ini, setiap kali terjadi pergantian penguasa, masyarakat mengharap terjadinya perubahan nasib. Namun fakta membuktikan, perubahan kekuasaan pun tidak memutus akar korupsi.
Bahkan, budaya korupsi telah menyusup dan menyebar ke segala arah. Jika dulu
korupsi hanya berada pada segelintir orang dan kroni, kini korupsi menyebar ke
semua kekuatan politik. Media massa pun harus mulai membiasakan diri untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap karya-karya anak negeri yang mampu memberi inspirasi seperti Film Indie “Kita VS Korupsi” yang menawarkan berbagai solusi
untuk kita jalani.
Judul film pendek pertama yaitu “Rumah Perkara" yang menceritakan bagaimana sebuah janji kepemimpinan penuh
kemunafikan. Tidak ada lagi kesejahteraan bagi masyarakat kecil demi pangkat
dan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi. Kesewenang-wenangan pun berada pada tangan penguasa. Kebohongan dikemas dalam adegan-adegan kecil yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan masyarakat.
Banyak
kasus korupsi semacam itu terjadi hampir di setiap instansi pemerintah pusat
maupun daerah karena kesalahan memberi amanah kepada pihak yang bukan
ahlinya. Lama-kelamaan jabatan menjadi pangkal dari segala fitnah dan khianat. Pemerintah
sudah berkali-kali, bahkan di setiap periode mengadakan pembenahan birokrasi
dengan cara mutasi pejabat, reshuffle
kabinet, pengurangan atau penambahan anggaran, dan sebagainya. Justru hal itu tidak
membawa hasil untuk perbaikan. Hal ini dikarenakan kasus-kasus korupsi sudah
berlangsung secara berjamaah. Dalang dari
kasus korupsi tersebut sangat sulit untuk ditangkap padahal kasus semacam ini harus segera diungkap.
Supaya hal tersebut tidak semakin
berkembang, bangsa Indonesia butuh para pemimpin yang mampu melakukan
pengorbanan layak seorang tentara atau pejuang yang mencintai tanah airnya. Sudah
saatnya kesadaran dan tanggap akan situasi harus diubah menjadi suatu paradigma progresif.
Kita harus memberlakukan Good Governance
yang efektif dengan kesiapan mental dalam mengubah cara pandang terhadap posisi dan
peran di kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara pandang lama melihat kedudukan
sebagai jabatan khusus, pangkat, dan status sehingga merasa berhak menuntut
pelayanan dan penghormatan orang lain. Cara pandang baru melihat kepemimpinan
sebagai amanah yang harus dijaga dan ditunaikan. Kita harus renungkan bahwa status
kita sebagai pemimpin adalah pelayan masyarakat. Tugas utamanya adalah melayani
kebutuhan masyarakat dan mengarahkan masyarakat pada kemakmuran bersama.
Rakyat
sebagai subjek yang diatur juga wajib mentaati dan menjunjung tinggi
norma-norma yang berlaku, baik yang berlaku sebatas pada lingkungan masyarakat
sekitar serta kebijakan yang mencakup nasional, yang lazim disebut peraturan
perundang-undangan. Perlu kita sadari bahwa peraturan yang berlaku merupakan
aturan yang kita buat sendiri, yakni dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang
telah kita pilih dalam Pemilu. Itulah gambaran mutualisme yang harus terjaga
agar kehidupan berbangsa dan bernegara terselenggara dengan aman, damai, dan
tenteram hingga terlihat jelas dihadapan bangsa lain suatu negara yang bebas
dari korupsi.
Tindak korupsi lain yang mampu kita
jadikan pembelajaran juga tercermin dalam film pendek “Aku Padamu”. Film
tersebut menceritakan kisah sederhana saat uang dan
kebohongan menjadi suatu yang saling terikat sehingga memudahkan dan
mempercepat segala urusan. Film ini mengingatkan kita bahwa segala hal kecil yang
kita mulai akan bisa membawa hal tersebut menjadi besar. Itulah yang
membuat korupsi dikatakan sebagai kezaliman yang teramat berbahaya karena ketidakadilan akan merajalela sebagai akibatnya.
Pembelajaran
dalam film “Aku Padamu” dapat kita peroleh dari biografi singkat seorang guru
yang rela hidup susah payah hingga meninggal dunia hanya karena ia tidak mampu
memberikan uang suap untuk menjadi guru tetap. Jika kita renungkan,
seorang guru itu ialah pahlawan tanpa tanda jasa. Guru harus mampu mengemban
amanah dan hal itu menjadi tugas yang berat. Tugas yang tidak mampu diemban
oleh orang-orang lemah, orang-orang bodoh, dan orang-orang zalim. Keleluasaan,
kebesaran, dan ketinggian pangkat/jabatan/kekuasaan maupun harta tidak menjamin
untuk mampu mengemban amanah jika tidak dilandasi oleh syariat agama dan ilmu
pengetahuan yang luas. Fakta tersebut membuktikan bahwa harus ada kesatuan
antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial.
Hikmah
yang bisa kita renungi yaitu kita adalah cerminan rumah kita. Diawali dari lingkungan keluarga yang mempelajari. Kita harus
menanamkan sejak dini untuk ajaran agama yang membekali. Hal tersebut dilakukan
agar pendidikan agama mampu menekankan pembangunan akhlak, mental, dan perilaku
individu. Jadi, kalau kita ingin melakukan segala sesuatu dengan benar, kita
harus segera melakukan segala sesuatu itu di jalan yang benar.
Untuk korupsi yang telah membudaya,
pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan satu atau dua
dimensi saja, seperti dengan penegakan hukum atau kebijakan politik. Diperlukan
langkah multidimensional untuk memberantas sesuatu yang telah membudaya. Selain
pendekatan politik dan hukum, diperlukan juga pendekatan budaya dengan misi
mengembalikan persepsi masyarakat tentang makna peyoratif korupsi sebagai
sesuatu yang negatif. Sudah waktunya kita kembali kepada kearifan karakter
bangsa untuk menegakkan kejujuran yang begitu mahal harganya.
Kita pun akan mendapat pembelajaran
hidup kembali mengenai kejujuran saat kita menonton film indie “Kita VS Korupsi”
yang berjudul “Selamat Siang, Risa… . !”. Sebuah film pendek menceritakan
realita kehidupan keluarga kecil yang mempertahankan kejujuran, walau kehidupannya dipenuhi dengan kebutuhan mendesak. Potret keluarga yang mampu
bertahan hidup dengan rasa tanggung jawab yang besar ditengah godaan kemajuan zaman dan gencarnya media massa yang
menyuguhkan budaya konsumerisme demi keinginan instan masyarakat untuk cepat
kaya. Keluarga itu mampu meraih kesuksesan yang lahir dari kebaikan sebelumnya.
Film
tersebut akan mengajak masyarakat menanamkan kembali nilai-nilai luhur bangsa
seperti kejujuran untuk mengantisipasi tergerusnya karakter bangsa. Nilai-nilai
luhur bangsa untuk membangun karakter masyarakat Indonesia tersebut dapat
dijadikan pilar utama dalam membangun karakter bangsa dan semua komponen
seperti tokoh pendidik, pemimpin agama, politik, dan masyarakat umum yang harus
bahu membahu agar menjadi teladan bagi yang lain.
Tidak
hanya sebatas itu, kita juga harus membangun sistem manajemen dan adminstrasi
yang sedemikian rupa agar masyarakat tidak bisa korupsi sehingga terbangun
kultur birokrasi yang bersih. Selama kita belum menyelesaikan perubahan sistem,
maka untuk memberantas budaya korupsi akan terus mengalami kesulitan.
Dunia
pendidikan pun harus kita tuntut dalam melaksanakan pendidikan anti korupsi
sejak dini. Hal ini diilhami dari film pendek yang berjudul “Pssst… Jangan
Bilang Siapa-Siapa!”. Film yang menceritakan sebuah rahasia korupsi
kecil-kecilan yang biasa dilakukan seorang guru dengan melakukan jual beli buku
pelajaran dengan harga tinggi. Tak hanya seorang diri, guru tersebut
mengajak peserta didiknya untuk turut serta dalam tindakan tercela tersebut. Akhirnya, peserta didik pun terbiasa melakukan kebohongan terhadap orang tuanya
saat meminta sejumlah uang yang besar untuk keperluan sekolah. Padahal uang
tersebut digunakan sebagai biaya keperluan pribadinya untuk membeli barang-barang mewah
atau mengikuti gaya hidup modern dengan teknologi yang dimanfaatkan
sebagai ajang pamer kekayaan dihadapan teman-temannya. Alangkah lucunya negeri ini, ketika anak muda zaman sekarang memberikan istilah pembicaraan mereka tersebut dengan istilah uang panas.
Fakta
demikian mengharuskan adanya pembelajaran di lingkungan sekolah yang
mengutamakan pada pendidikan anti korupsi untuk memanusiakan manusia. Semua pihak harus
mengingatkan satu sama lain agar penyakit korupsi tidak menular dan menjadi
suatu kebiasaan negatif yang mampu merugikan banyak pihak.
Bisa karena biasa. Frase itulah yang mendeskripsikan tindak korupsi yang bisa terjadi dimanapun dan dengan siapapun. Diperlukan langkah-langkah multidimensional yang harus diterapkan sejak dini agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan dari generasi ke generasi.
Bisa karena biasa. Frase itulah yang mendeskripsikan tindak korupsi yang bisa terjadi dimanapun dan dengan siapapun. Diperlukan langkah-langkah multidimensional yang harus diterapkan sejak dini agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan dari generasi ke generasi.
Inilah waktunya kita jalani multidimensional
reformasi sebagai bentuk perjuangan seluruh bangsa di negeri ini untuk melawan korupsi. Kepemimpinan
yang kuat menjadi salah satu elemen yang perlu mendapat sokongan jelas
pada masa kini. Soal sejauh mana kebobrokan mindset
bangsa Indonesia marilah bercermin pada hati nurani kita sendiri.
Miris sekali membiarkan
Indonesia tetap seperti ini. Jangan terlalu banyak berkata, implementasikan pikiran positif itu.
Berjuang bersama mengubah segala keadaan. Selagi kita masih muda, harapan itu
dapat dilakukan. Hidup tanpa keluh kesah dan yakin pada Sang Pencipta.
Indonesia boleh saja memiliki beragam budaya, tetapi kesatuan jangan pernah dilunturkan. Dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, jiwa gotong royong selalu melekat pada setiap diri bangsa. Mari kita bercermin dari Film Kita VS Korupsi untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Jadikan hal itu sebagai hasrat para pemuda-pemudi negeri yang tak pernah pudar demi menjadi generasi bersih, transparan, dan profesional yang bebas dari korupsi dari generasi ke generasi.
Indonesia boleh saja memiliki beragam budaya, tetapi kesatuan jangan pernah dilunturkan. Dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, jiwa gotong royong selalu melekat pada setiap diri bangsa. Mari kita bercermin dari Film Kita VS Korupsi untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Jadikan hal itu sebagai hasrat para pemuda-pemudi negeri yang tak pernah pudar demi menjadi generasi bersih, transparan, dan profesional yang bebas dari korupsi dari generasi ke generasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar